Selasa, 05 Agustus 2008

Di Rumah Duka

Halo, teman2, I'm back, ayo nulis lagi. Kan, udah belajar nulis cerpen, di sini ni..... kita tuangin ide kita. Ojo lali ya, don't forget, pu yau wang ci, ....... selamat menulis lagi....lagi....lagi ............. God gives you chance, take it for God's Glory........


Dalam hidup manusia ada banyak hal yang menyenangkan. Salah satunya adalah hidup itu sendiri. Namun ironisnya, tidak semua berpendapat hidup menyenangkan. Mengapa? Terlalu banyak tekanan dan kekuatiran di dalamnya. Saat manusia di dunia dia akan menjalani hidup yang bergulir, dari suka duka, atau duka suka sampai ajal menjemput dia. Ini akan terus berputar bagi seluruh umat manusia. Ia datang silih berganti. Lalu, apakah mati itu jauh lebih baik? Mungkin ya, mungkin juga tidak.

Di salah satu putaran yang ditemukan dalam rumah duka adalah nuansa kedukaan, kesedihan, dan kehilangan. Orang yang berduka adalah orang yang ditinggal, bukan orang yang meninggalkan. Kita tidak menemukan orang yang sudah meninggal, lalu menyatakan diri sedih karena meninggalkan orang-orang yang dicintainya. Orang meninggal tidak merasakan apa yang sedang kita (orang hidup) rasakan. Tubuh jasmani terbaring kaku, tidak ada nafas, tidak ada rasa, semua sudah tiada. Dia sudah menjadi barang yang mati. Hanya yang hidup yang bisa merasa. Jadi, orang yang hidup yang paling merasakan duka.

Saya lalu teringat apa kata pengamsal bahwa lebih baik di tempat duka daripada di tempat pesta (suka). Lalu muncul pertanyaan "apa yang lebih baik?" Saya lalu mengingat kembali setiap acara perkabungan, penutupan peti, keberangkatan jenazah, dan penghiburan bagi keluarga. Di rumah orang yang berduka, wajah mereka dihiasi dengan kesenduan, linangan air mata, dan kelesuhan karena kurang tidur. Lalu apa sukanya? Semakin direnungkan seperti tidak ada suka di rumah duka. Tetapi, ternyata di balik duka bagi orang yang hidup, ternyata juga ada suka bagi orang yang mati ataupun hidup. Suka karena orang yang meninggal dalam Kristus, dia kembali kepada Allah Bapa di surga. Suka kerena meninggalkan kefanaan. Suka karena di pangkuan Sang Khalik. Suka juga bagi orang yang hidup, mereka dihiburkan, mereka diajar untuk berjalan dalam terang kasih Tuhan, untuk setia dan percaya hanya kepada Tuhan Yesus, hidup bukan untuk diri sendiri juga bagi sesama.

Mari kita belajar menemukan "suka" di rumah duka.

2 komentar:

Citra_tdz mengatakan...

Hi, kak.. It is right that in every mourning there is a joy inside it, especially in Christian family. Eventhough the family have lost a love one, but there is a cheer that the late had return to Father's side. And a joy to remember that we will also be gathered in Father's Heavenly House with all believers. So, cheer up, and change the mourning into a hope of joy.

Btw, I've manage to write in my blog. Please have a visit to my blog and also my Friendster.

http://citra-tdz.blogspot.com
http://citra_tdz.blogs.friendster.com
http://profiles.friendster.com/citratdz

Citra_tdz
JLU

Julianto mengatakan...

ALLAH, GURU KITA

Seorang guru yang baik tidak akan mendidik secara sembarangan. Ia
akan mengemas pendidikannya dengan metode serta evaluasi yang tepat
sesuai tujuan yang ditentukan. Lebih plus lagi bila ia kreatif dan
mampu memikat hati naradidik dengan memerhatikan konteks hidup
mereka. Sulit memang. Itu sebabnya guru yang baik termasuk langka.
Lalu jika kemudian kita berpikir tentang Allah ... apakah Allah
adalah guru yang baik?

Tentu saja! Bacaan kita berisi nasihat agar umat melakukan firman
yang didengar (ayat 1). Ada tujuan pembelajaran di situ: "Supaya kamu
hidup ..."; bahkan juga ujian dan metode pembelajarannya: setiap kita
perlu mengingat pengalaman kita berjalan bersama Tuhan (ayat 2).
Lalu, ada pula evaluasi: bagaimana sikap hati kita pada akhirnya-agar
kita mengalami kepenuhan hidup-yakni saat kita menyadari bahwa kita
bisa hidup dengan mengandalkan Allah dan firman-Nya saja (ayat 2,3).

Allah mendidik umat di padang gurun agar karakter mereka semakin
matang. Padang gurun menjadi lokasi terbaik untuk belajar dalam hidup
beriman, agar manusia lebih bergantung pada Allah ketimbang pada
roti. Roti adalah simbol dari apa yang kita anggap kebutuhan dasar
hidup. Namun dengan roti saja-tanpa Allah-umat akan mati dan tidak
"lulus ujian" Allah.

Sudahkah kita mengikuti "kelas-Nya" dengan baik? Kelak, kita akan
menghadapi "kelulusan final" saat kita meninggal, namun dalam
tiap-tiap hari ada "tes-tes kecil" yang penting untuk kita menangkan.
Bila Allah sedang mendidik Anda, bersyukurlah. Sebab melaluinya Anda
akan semakin matang dan berbuah! -DKL