Terhampar jadwal tugas
penuh dengan ketegangan
tuntutan dan target pencapaian
Membelah satu demi satu jadwal
Menjabar satu demi satu tugas
Mengerjakan satu demi satu kegiatan
Menghindari keluhan
Menjamu etos semangat kerja
Mengejar ide-ide membangun
Merumuskan serpihan pikiran
Mewacanakan dalam catatan
Akhirnya, diceritakan, disharingkan, diberikan......
Disela pekerjaan, Suatu usulan.
beatus ille servus quem cum venerit dominus eius invenerit sic facientem (Mat. 24:46)
Jumat, 29 Mei 2009
Masker Hidup Kita
Satu hari lagi, anugerah dari sang Khalik, bagi setiap mahkluk di bumi. Detak jam telah melewati satu detik lagi, hidup yang penuh arti, dikaruniakan bagi setiap insan yang sadar, sadar akan kasih setia-Nya, kuasa-Nya, sistem alam semesta yang rapi tersusun, dan Dialah penopangnya. Sungguh suatu anugerah yang besar kita boleh mengenal Dia.
Saat membaca majalah Tempo edisi minggu ke-4 Mei 2009, saya terkesan dengan promosi "masker" yang tercantum dalam satu halaman penuh. Ada berbagai produk masker dari berbagai negara dan berbagai merek. Masing-masing memiliki keunikan tersendiri dalam menjaring virus flu. Apalagi, virus tidak terditeksi dengan mata kita, bisa melewati udara dengan bebas. Ditambah lagi, berita "virus H1N1" yang menambah korban di negara Meksiko. Perlunya memiliki sebuah masker tentu tidak dapat dihindari. Masker bisa melindungi, paling tidak, tubuh dari virus yang mematikan itu. Ada satu produk yang dapat menjaring virus atau bakteri, saat virus tersebut sampai di bagian masker, maka dia akan di"matikan".
Saya teringat akan bahaya dosa, yang mirip virus mematikan, yang bisa saja masuk ke dalam pikiran, tanpa disadari, tidak terlihat, dan sangat berbahaya. Tentu harus ada masker rohani dalam hati dan pikiran kita. Terus saya renungkan, ternyata "firman Tuhan" itulah yang menjadi masker yang manjur. Virus dosa yang mematikan menyerang jalur operasional pengaturan hidup yaitu otak (nama lain: pikiran).
Pagi ini saya membaca renungan tentang perlengkapan rohani dalam Efesus 6:17, "dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah." Firman Tuhan seperti ketopong, pelindung kepala seorang tentara Romawi jaman dulu. Seperti Masker bagi hidung kita agar terhindar dari zat yang merusak tubuh. Sebagai orang percaya, saya juga perlu terus senantiasa menggunakan Masker "Firman Tuhan" ini.
Selamat......bekerja.....
bagi rekan-rekan yang sedang bergumul dengan pekerjaannya.
Saat membaca majalah Tempo edisi minggu ke-4 Mei 2009, saya terkesan dengan promosi "masker" yang tercantum dalam satu halaman penuh. Ada berbagai produk masker dari berbagai negara dan berbagai merek. Masing-masing memiliki keunikan tersendiri dalam menjaring virus flu. Apalagi, virus tidak terditeksi dengan mata kita, bisa melewati udara dengan bebas. Ditambah lagi, berita "virus H1N1" yang menambah korban di negara Meksiko. Perlunya memiliki sebuah masker tentu tidak dapat dihindari. Masker bisa melindungi, paling tidak, tubuh dari virus yang mematikan itu. Ada satu produk yang dapat menjaring virus atau bakteri, saat virus tersebut sampai di bagian masker, maka dia akan di"matikan".
Saya teringat akan bahaya dosa, yang mirip virus mematikan, yang bisa saja masuk ke dalam pikiran, tanpa disadari, tidak terlihat, dan sangat berbahaya. Tentu harus ada masker rohani dalam hati dan pikiran kita. Terus saya renungkan, ternyata "firman Tuhan" itulah yang menjadi masker yang manjur. Virus dosa yang mematikan menyerang jalur operasional pengaturan hidup yaitu otak (nama lain: pikiran).
Pagi ini saya membaca renungan tentang perlengkapan rohani dalam Efesus 6:17, "dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah." Firman Tuhan seperti ketopong, pelindung kepala seorang tentara Romawi jaman dulu. Seperti Masker bagi hidung kita agar terhindar dari zat yang merusak tubuh. Sebagai orang percaya, saya juga perlu terus senantiasa menggunakan Masker "Firman Tuhan" ini.
Selamat......bekerja.....
bagi rekan-rekan yang sedang bergumul dengan pekerjaannya.
Kamis, 28 Mei 2009
Melihat dari Sisi Lain
Satu persoalan kalau dilihat hanya dari satu sisi, sisi kita sendiri tentu akan menjadi
sangat sulit untuk diselesaikan. Perlu dilihat dari berbagai sisi. Mungkin inilah
alasan kenapa setiap kali menghadapi persoalan kita perlu mencari teman, konselor,
atau orang yang berkompeten memberikan review dari sisi yang berbeda.
Seorang ayah, pulang ke rumah, tanpa basa-basi memarahi anaknya, yang pas waktu
sampai di rumah juga sedang ketakutan, karena dia mendapat nilai F dalam pelajaran
Matematika, barusan dimarah oleh guru di sekolah, barusan menerima godaan atau
mungkin ejekan dari teman sekelasnya. Dengan lesu, dia menerima "semprotan"
berharga dari papanya, yang sedang naik darah. Anak itu hanya diam saja. Dia tidak banyak berkata-kata.
Di dalam hatinya, dia hanya bertanya, apakah dosaku hari ini, sehingga aku mendapat
begitu banyak semprotan, ibarat serangga yang hanya sesuap nasi, harus terkapar karena
semprotan obat serangga. Mungkin demikian pikirannya. Dia tetap terdiam, tidak
berkata-kata.
Tetapi, anak itu cukup dewasa, dia berkata, untuk apa saya terus menerus menyesal
dan marah kepada orang tua saya. Mungkin papa ada masalah berat di kantor. Aku lebih baik diam saja.
Nah, anak ini melihat sisi lain, dia keluar dari kondisinya, walaupun ini susah, tapi dia sudah mencoba.
Salam dari: Orang yang ingin melihat dari sisi lain
sangat sulit untuk diselesaikan. Perlu dilihat dari berbagai sisi. Mungkin inilah
alasan kenapa setiap kali menghadapi persoalan kita perlu mencari teman, konselor,
atau orang yang berkompeten memberikan review dari sisi yang berbeda.
Seorang ayah, pulang ke rumah, tanpa basa-basi memarahi anaknya, yang pas waktu
sampai di rumah juga sedang ketakutan, karena dia mendapat nilai F dalam pelajaran
Matematika, barusan dimarah oleh guru di sekolah, barusan menerima godaan atau
mungkin ejekan dari teman sekelasnya. Dengan lesu, dia menerima "semprotan"
berharga dari papanya, yang sedang naik darah. Anak itu hanya diam saja. Dia tidak banyak berkata-kata.
Di dalam hatinya, dia hanya bertanya, apakah dosaku hari ini, sehingga aku mendapat
begitu banyak semprotan, ibarat serangga yang hanya sesuap nasi, harus terkapar karena
semprotan obat serangga. Mungkin demikian pikirannya. Dia tetap terdiam, tidak
berkata-kata.
Tetapi, anak itu cukup dewasa, dia berkata, untuk apa saya terus menerus menyesal
dan marah kepada orang tua saya. Mungkin papa ada masalah berat di kantor. Aku lebih baik diam saja.
Nah, anak ini melihat sisi lain, dia keluar dari kondisinya, walaupun ini susah, tapi dia sudah mencoba.
Salam dari: Orang yang ingin melihat dari sisi lain
Flash back
Melihat kembali
hari-hari yang indah
Mengenang kembali
momen yang singgah....namun lewat begitu saja
Menangkap kembali
setiap kesempatan
untuk berkarya,
untuk mencari makna,
untuk berbagi
untuk sesama
Mendapat kembali
serpihan makna hidup
anugerah sang pencipta
Menyimpan kembali
tenaga sumber karsa
untuk sebuah karya
hari-hari yang indah
Mengenang kembali
momen yang singgah....namun lewat begitu saja
Menangkap kembali
setiap kesempatan
untuk berkarya,
untuk mencari makna,
untuk berbagi
untuk sesama
Mendapat kembali
serpihan makna hidup
anugerah sang pencipta
Menyimpan kembali
tenaga sumber karsa
untuk sebuah karya
Rabu, 27 Mei 2009
Lihat Kembali
Tidak banyak yang bisa kita lakukan
kalau hanya termenung
melihat ketidakberesan dalam diri
Tidak banyhak yang bisa kita lakukan
kalau hanya mengomentari
tanpa memberikan solusi
Tidak banyak yang bisa kita lakukan
kalau hanya mengkritik
tanpa ada masukan yang membangun
dan
Tidak banyak yang bisa kita lakukan
kalau hanya berpangku tangan
tanpa tindakan.
kalau hanya termenung
melihat ketidakberesan dalam diri
Tidak banyhak yang bisa kita lakukan
kalau hanya mengomentari
tanpa memberikan solusi
Tidak banyak yang bisa kita lakukan
kalau hanya mengkritik
tanpa ada masukan yang membangun
dan
Tidak banyak yang bisa kita lakukan
kalau hanya berpangku tangan
tanpa tindakan.
Langganan:
Postingan (Atom)